Sabtu, 04 Mei 2013

REOG PONOROGO/BUMI WENGKER

Salah satu ciri khas seni budaya Kabupaten
Ponorogo Jawa Timur adalah kesenian Reog
Ponorogo. Reog, sering diidentikkan dengan
dunia hitam, preman atau jagoan serta tak
lepas pula dari dunia mistis dan kekuatan
supranatural. Reog mempertontonkan
keperkasaan pembarong dalam mengangkat
dadak merak seberat sekitar 50 kilogram
dengan kekuatan gigitan gigi sepanjang
pertunjukan berlangsung. Instrumen
pengiringnya, kempul, ketuk, kenong, genggam,
ketipung, angklung dan terutama salompret,
menyuarakan nada slendro dan pelog yang
memunculkan atmosfir mistis, unik, eksotis
serta membangkitkan semangat. Satu group
Reog biasanya terdiri dari seorang Warok Tua,
sejumlah warok muda, pembarong dan penari
Bujang Ganong dan Prabu Kelono Suwandono.
Jumlah kelompok reog berkisar antara 20
hingga 30-an orang, peran utama berada pada
tangan warok dan pembarongnya.
Seorang pembarong, harus memiliki kekuatan
ekstra. Dia harus mempunyai kekuatan rahang
yang baik, untuk menahan dengan gigitannya
beban “Dadak Merak” yakni sebentuk kepala
harimau dihiasi ratusan helai bulu-bulu burung
merak setinggi dua meter yang beratnya bisa
mencapai 50-an kilogram selama masa
pertunjukan. Konon kekuatan gaib sering
dipakai pembarong untuk menambah kekuatan
ekstra ini, salah satunya dengan cara memakai
susuk, di leher pembarong. Untuk menjadi
pembarong tidak cukup hanya dengan tubuh
yang kuat. Seorang pembarong pun harus
dilengkapi dengan sesuatu yang disebut
kalangan pembarong dengan wahyu yang
diyakini para pembarong sebagai sesuatu yang
amat penting dalam hidup mereka. Tanpa
diberkati wahyu, tarian yang ditampilkan
seorang pembarong tidak akan tampak luwes
dan enak untuk ditonton. Namun demikian
persepsi misitis pembarong kini digeser dan
lebih banyak dilakukan dengan pendekatan
rasional. Menurut seorang sesepuh Reog, Mbah
Wo Kucing “Reog itu nggak perlu ndadi. Kalau
ndadi itu ya namanya bukan reog, itu jathilan.
Dalam reog, yang perlu kan keindahannya “.
Legenda Cerita Reog
Reog dimanfaatkan sebagai sarana
mengumpulkan massa dan merupakan saluran
komunikasi yang efektif bagi penguasa pada
waktu itu. Ki Ageng Mirah kemudian membuat
cerita legendaris mengenai Kerajaan
Bantaranangin yang oleh sebagian besar
masyarakat Ponorogo dipercaya sebagai sejarah.
Adipati Batorokatong yang beragama Islam juga
memanfaatkan barongan ini untuk
menyebarkan agama Islam. Nama Singa
Barongan kemudian diubah menjadi Reog, yang
berasal dari kata Riyoqun, yang berarti khusnul
khatimah yang bermakna walaupun sepanjang
hidupnya bergelimang dosa, namun bila
akhirnya sadar dan bertaqwa kepada Allah,
maka surga jaminannya. Selanjutnya kesenian
reog terus berkembang seiring dengan
perkembangan zaman. Kisah reog terus
menyadur cerita ciptaan Ki Ageng Mirah yang
diteruskan mulut ke mulut, dari generasi ke
generasi.
Menurut legenda Reog atau Barongan bermula
dari kisah Demang Ki Ageng Kutu Suryonggalan
yang ingin menyindir Raja Majapahit, Prabu
Brawijaya V. Sang Prabu pada waktu itu sering
tidak memenuhi kewajibannya karena terlalu
dipengaruhi dan dikendalikan oleh sang
permaisuri. Oleh karena itu dibuatlah barongan
yang terbuat dari kulit macan gembong
(harimau Jawa) yang ditunggangi burung
merak. Sang prabu dilambangkan sebagai
harimau sedangkan merak yang
menungganginya melambangkan sang
permaisuri. Selain itu agar sindirannya tersebut
aman, Ki Ageng melindunginya dengan pasukan
terlatih yang diperkuat dengan jajaran para
warok yang sakti mandraguna. Di masa
kekuasaan Adipati Batorokatong yang
memerintah Ponorogo sekitar 500 tahun lalu,
reog mulai berkembang menjadi kesenian
rakyat. Pendamping Adipati yang bernama Ki
Ageng Mirah menggunakan reog untuk
mengembangkan kekuasaannya.
Reog mengacu pada beberapa babad, Salah
satunya adalah babad Kelana Sewandana.
Babad Klana Sewandana yang konon
merupakan pakem asli seni pertunjukan reog.
Mirip kisah Bandung Bondowoso dalam legenda
Lara Jongrang, Babad Klono Sewondono juga
berkisah tentang cinta seorang raja, Sewondono
dari Kerajaan Jenggala, yang hampir ditolak
oleh Dewi Sanggalangit dari Kerajaan Kediri.
Sang putri meminta Sewondono untuk
memboyong seluruh isi hutan ke istana sebagai
mas kawin. Demi memenuhi permintaan sang
putri, Sewandono harus mengalahkan penunggu
hutan, Singa Barong (dadak merak). Namun hal
tersebut tentu saja tidak mudah. Para warok,
prajurit, dan patih dari Jenggala pun menjadi
korban. Bersenjatakan cemeti pusaka
Samandiman, Sewondono turun sendiri ke
gelanggang dan mengalahkan Singobarong.
Pertunjukan reog digambarkan dengan tarian
para prajurit yang tak cuma didominasi para
pria tetapi juga wanita, gerak bringasan para
warok, serta gagah dan gebyar kostum
Sewandana, sang raja pencari cinta.
Versi lain dalam Reog Ponorogo mengambil
kisah Panji. Ceritanya berkisar tentang
perjalanan Prabu Kelana Sewandana mencari
gadis pujaannya, ditemani prajurit berkuda dan
patihnya yang setia, Pujangganong. Ketika
pilihan sang prabu jatuh pada putri Kediri,
Dewi Sanggalangit, sang dewi memberi syarat
bahwa ia akan menerima cintanya apabila sang
prabu bersedia menciptakan sebuah kesenian
baru. Dari situ terciptalah Reog Ponorogo.
Huruf-huruf reyog mewakili sebuah huruf
depan kata-kata dalam tembang macapat
Pocung yang berbunyi: Rasa kidung/ Ingwang
sukma adiluhung/ Yang Widhi/ Olah kridaning
Gusti/ Gelar gulung kersaning Kang Maha
Kuasa. Unsur mistis merupakan kekuatan
spiritual yang memberikan nafas pada kesenian
Reog Ponorogo.
Warok
Warok sampai sekarang masih mendapat
tempat sebagai sesepuh di masyarakatnya.
Kedekatannya dengan dunia spiritual sering
membuat seorang warok dimintai nasehatnya
atas sebagai pegangan spiritual ataupun
ketentraman hidup. Seorang warok konon
harus menguasai apa yang disebut Reh
Kamusankan Sejati, jalan kemanusiaan yang
sejati.
Warok adalah pasukan yang bersandar pada
kebenaran dalam pertarungan antara kebaikan
dan kejahatan dalam cerita kesenian reog.
Warok Tua adalah tokoh pengayom, sedangkan
Warok Muda adalah warok yang masih dalam
taraf menuntut ilmu. Hingga saat ini, Warok
dipersepsikan sebagai tokoh yang pemerannya
harus memiliki kekuatan gaib tertentu. Bahkan
tidak sedikit cerita buruk seputar kehidupan
warok. Warok adalah sosok dengan stereotip:
memakai kolor, berpakaian hitam-hitam,
memiliki kesaktian dan gemblakan.Menurut
sesepuh warok, Kasni Gunopati atau yang
dikenal Mbah Wo Kucing, warok bukanlah
seorang yang takabur karena kekuatan yang
dimilikinya. Warok adalah orang yang
mempunyai tekad suci, siap memberikan
tuntunan dan perlindungan tanpa pamrih.
“Warok itu berasal dari kata wewarah. Warok
adalah wong kang sugih wewarah. Artinya,
seseorang menjadi warok karena mampu
memberi petunjuk atau pengajaran kepada
orang lain tentang hidup yang baik”.“ Warok iku
wong kang wus purna saka sakabehing laku, lan
wus menep ing rasa” (Warok adalah orang yang
sudah sempurna dalam laku hidupnya, dan
sampai pada pengendapan batin).
Syarat menjadi Warok
Warok harus menjalankan laku. “Syaratnya,
tubuh harus bersih karena akan diisi. Warok
harus bisa mengekang segala hawa nafsu,
menahan lapar dan haus, juga tidak
bersentuhan dengan perempuan. Persyaratan
lainnya, seorang calon warok harus
menyediakan seekor ayam jago, kain mori 2,5
meter, tikar pandan, dan selamatan bersama.
Setelah itu, calon warok akan ditempa dengan
berbagai ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan.
Setelah dinyatakan menguasai ilmu tersebut, ia
lalu dikukuhkan menjadi seorang warok sejati.
Ia memperoleh senjata yang disebut kolor
wasiat, serupa tali panjang berwarna putih,
senjata andalan para warok. Warok sejati pada
masa sekarang hanya menjadi legenda yang
tersisa. Beberapa kelompok warok di daerah-
daerah tertentu masih ada yang memegang
teguh budaya mereka dan masih dipandang
sebagai seseorang yang dituakan dan disegani,
bahkan kadang para pejabat pemerintah selalu
meminta restunya.
Gemblakan
Selain segala persyaratan yang harus dijalani
oleh para warok tersebut, selanjutnya muncul
disebut dengan Gemblakan. Dahulu warok
dikenal mempunyai banyak gemblak, yaitu
lelaki belasan tahun usia 12-15 tahun berparas
tampan dan terawat yang dipelihara sebagai
kelangenan, yang kadang lebih disayangi
ketimbang istri dan anaknya. Memelihara
gemblak adalah tradisi yang telah berakar kuat
pada komunitas seniman reog. Bagi seorang
warok hal tersebut adalah hal yang wajar dan
diterima masyarakat. Konon sesama warok
pernah beradu kesaktian untuk
memperebutkan seorang gemblak idaman dan
selain itu kadang terjadi pinjam meminjam
gemblak. Biaya yang dikeluarkan warok untuk
seorang gemblak tidak murah. Bila gemblak
bersekolah maka warok yang memeliharanya
harus membiayai keperluan sekolahnya di
samping memberinya makan dan tempat
tinggal. Sedangkan jika gemblak tidak
bersekolah maka setiap tahun warok
memberikannya seekor sapi. Dalam tradisi
yang dibawa oleh Ki Ageng Suryongalam,
kesaktian bisa diperoleh bila seorang warok
rela tidak berhubungan seksual dengan
perempuan. Hal itu konon merupakan sebuah
keharusan yang berasal dari perintah sang
guru untuk memperoleh kesaktian.
Kewajiban setiap warok untuk memelihara
gemblak dipercaya agar bisa mempertahankan
kesaktiannya. Selain itu ada kepercayaan kuat
di kalangan warok, hubungan intim dengan
perempuan biarpun dengan istri sendiri, bisa
melunturkan seluruh kesaktian warok. Saling
mengasihi, menyayangi dan berusaha
menyenangkan merupakan ciri khas hubungan
khusus antara gemblak dan waroknya. Praktik
gemblakan di kalangan warok, diidentifikasi
sebagai praktik homoseksual karena warok tak
boleh mengumbar hawa nafsu kepada
perempuan.
Saat ini memang sudah terjadi pergeseran
dalam hubungannya dengan gemblakan. Di
masa sekarang gemblak sulit ditemui. Tradisi
memelihara gemblak, kini semakin luntur.
Gemblak yang dahulu biasa berperan sebagai
penari jatilan (kuda lumping), kini perannya
digantikan oleh remaja putri. Padahal dahulu
kesenian ini ditampilkan tanpa seorang wanita
pun.
Reog di masa sekarang
Seniman Reog Ponorogo lulusan sekolah-sekolah
seni turut memberikan sentuhan pada
perkembangan tari reog ponorogo. Mahasiswa
sekolah seni memperkenalkan estetika seni
panggung dan gerakan-gerakan koreografis,
maka jadilah reog ponorogo dengan format
festival seperti sekarang. Ada alur cerita, urut-
urutan siapa yang tampil lebih dulu, yaitu
Warok, kemudian jatilan, Bujangganong, Klana
Sewandana, barulah Barongan atau Dadak
Merak di bagian akhir. Saat salah satu unsur
tersebut beraksi, unsur lain ikut bergerak atau
menari meski tidak menonjol. Beberapa tahun
yang lalu Yayasan Reog Ponorogo memprakarsai
berdirinya Paguyuban Reog Nusantara yang
anggotanya terdiri atas grup-grup reog dari
berbagai daerah di Indonesia yang pernah
ambil bagian dalam Festival Reog Nasional.
Reog ponorogo menjadi sangat terbuka akan
pengayaan dan perubahan ragam geraknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar